Laman

Sabtu, 31 Januari 2009

Syukur

Ketika Nabi Sulaiman a.s. mendapatkan puncak kenikmatan dunia, beliau berkata,“Ini adalah bagian dari karunia Allah, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur.” (An-Naml: 40). Ketika Qarun mendapatkan harta yang sangat banyak, dia mengatakan, “Sesungguhnya harta kekayaan ini, tidak lain kecuali dari hasil kehebatan ilmuku.” (Al-Qashash: 78).
Dua ayat di atas membagi manusia kedalam dua kelompok berdasarkan responnya terhadapa suatu kejadian. Orang bisa saja mendapat sebuah kejadian yang sama, namun tidak semua orang akan merespon dengan hal yang sama. Demikianlah, fragmen hidup manusia tidak terlepas dari dua golongan tersebut. Golongan pertama, manusia yang mendapatkan nikmat Allah dan mereka mensyukurinya dengan sepenuh hati. Dan golongan kedua, manusia yang mendapatkan banyak nikmat lalu mereka kufur. Golongan pertama yaitu para nabi, shidiqqin, zullada, dan shalihin (An-Nisa’: 69-70). Golongan kedua, mereka inilah para penentang kebenaran, seperti Namrud, Fir’aun, Qarun, Abu Lahab, Abu Jahal, dan para pengikut mereka dari masa ke masa.
Maka dari itu kita harus berusaha menjadi orang yang selalu bersyukur atas semua kejadian yang menimpa diri kita. Mungkin anda bertanya kenapa semua kejadian yang harus kita syukuri, tidak hanya nikmat saja. Pada dasarnya semua kejadian dari Allah SWT dapat kita jadikan sebagai sebuah nikmat, dengan cara kita memberikan prasangka baik kepada Allah SWT, Dia Yang Maha Mengetahui, sehingga setiap kejadian yang Allah berikan kepada kita atas dasar usaha yang kita lakukan telah disesuaikan kepada kita.
Dan jika kita telah berhasil bersyukur, Allah berkata dalam surat Ibrahim ayat 7, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

Kamis, 08 Januari 2009

tawakal atau pasrah

Kemudian apabila kamu telah membuat tekad, maka bertawallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang – orang yang bertawakal kepada-Nya.
( Q.S. Ali- Imran :159 )

Berjuang dan berusaha itu adalah kewajiban dari setiap makhlik yang diciptakan Allah SWT ke dunia ini, hal ini tidak hanya berlaku bagi manusia saja, hewan dan tumbuhan juga melakukan hal yang sama. Lihat saja sekeliling kita, mungkin kita pernah meilihat seekor anak kucing yang masih kecil mencari-cari makanannya di tong sampah, bergelut dengan kotornya tempat sampah dan bu yang menyengat, tapi anak kucing itu terus berusaha untuk mendapatkan makanan karena anak kucing itu harus hidup. Begitu pula manusia, diciptakan dengan berbagai kelebihan dan keunggulan dibandng dengan makhluk Allah yang lainnya, manusia pun dituntut untuk terus berusaha. Konteks berusaha ini sangat luas, coba saja kita tengok seorang tukang ojek, dari pagi hari ia sudah memulai berusaha dengan mempersiapkan motornya baik, mengecek kondisi motornya, mencuci motornya sampai berpakaian rapi, lalu berangkat ke pangkalan ojek, duduk dan menanti pelanggan datang, selanjutnya akan ada dua kemungkinan, pertama tukang ojek akan mendapat cukup banyak penumpang sehingga kebutuhannya tercukupi, kedua tukang ojek hanya mendapatkan sedikit penumpang. Begitu pula dengan seorang mahasiswa, dalam hal ini mahasiswa berusaha unuk belajar sebaik-baiknya, agar mendapat ilmu yang banyak dan pada akhirnya diuji untuk mengukur seberapa besar hasil usahanya (belajarnya), adapun pada akhirnya akan ada dua kemungkinan, hasil dari ujiannya itu memuaskan atau mungkin kurang memuaskan.
Kenyataan bahwa di dunia ini ada harapan-harapan yang mungkin dapat tidak tercapai, atau ada usaha yang berhasil dan gagal, sering kali membuat kita kecewa jika hasil yang didapat adalah sebuah kegagalan, kekecewaan biasanya akan membuat diri kita menjadi tidak lagi percaya pada Sang Maha Pemberi, astagfirullah. Lalu bagaimana agar diri ini tidak lantas kecewa ?
Dalam islam dikenal sebuah istilah yang disebut dengan Tawakal, adapun definis dari tawakal ada berbagai macam, diantaranya, Tawakal adalah menyerahkan semua urusan kepada pihak lain atau menggantungkan kepadanya. Hal ini disebabkan karena ia percaya penuh kepada yang diserahi karena ia tidak mampu menangani sendiri. ( lihat an Nihayah fi Gharibil hadist, Ibnu Atsir, 5/221 ). Di dunia ini, satu-satunya pihak yang dapat kita percayai adalah Allah Swt, maka sudah seharusnya kita bertawakal kepada Allah. Menyerahkan bukan berarti berlepas tangan akan sesuatu yang kita kehendaki, tapi menyerahkan di sini berarti mengikuti apa yang telah diatur oleh yang kita serahi apa yang kita kehendaki. Jadi ketika kita bertawakan tidaklah lantas kita diam dan menunggu datangnya mukjizat, akan tetapi juga mengusahakannya dengan aturan main yang telah dibuat oleh pihak yang kita serahi. Jadi ketika kita bertawakal kepada Allah, maka kita wajib untuk berusaha sesuai dengan “aturan main” Allah. Jika kita seorang mahasiswa yang sedang menempuh Ujian Akhir, maka bertawakalah kepada Allah dengan belajar yang baik dan berdoa. Yakinlah bahwa Allah Maha Pemberi lagi Maha Penyayang.